Awalnya kami tak pernah berpikir untuk bisa duduk di bangku perguruan
tinggi. Tak terbersit di pikiran kami kala kami masih kecil, bahwa kami
saat ini bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Serasa dulunya
itu sangatlah mustahil bagi kami. Hal itu karena kami sadar bahwa orang
tua kami tak akan mampu membiayai kami untuk kuliah.
Bahkan sebagian dari kami, bisa duduk di bangku SMA sudah itupun
sudah suatu yang sangat luar biasa. Namun ternyata Allah berkendak
lain, kami dijadikannya bisa ikut merasakan luasnya pengetahuan lewat
perkuliahan. Kami bisa kuliah karena adanya beasiswa yang diberikan
untuk kami.
Mungkin ceritanya berawal dari SMA, kala kami mulai dikenalkan oleh
guru-guru kami tentang berbagai perguruan tinggi. Cerita-cerita tentang
kuliah yang begitu hebat menurut kami pada saat itu. Sejak saat itu
mulailah tergambar di fikiran kami untuk kuliah. Namun disisi lain,
logika kami juga protes pada diri kami sendiri.
“Mana mungkin kamu bisa kuliah, lihat kondisi orang tuamu? Sadar diri
saja! emang siapa yang bisa membiayai kuliahmu? Dasar nggak tahu
diri!!!”.
Pikiran seperti itu seolah membenamkan mimpi kami untuk bisa kuliah.
Ah rasanya memang mustahil, memang takdir kami mungkin tak akan bisa
kuliah. Kami pun merasa iri ketika melihat teman-teman kami dari
keluarga yang mampu, mereka yang mulai terlihat mendaftar kuliah
disana-sini.
Dimana mereka berkumpul, maka mereka begitu asyiknya membicarakan
rencana-rencana mereka tanpa beban. Sedangkan kami hanya bisa diam
mendengarkan sambil menahan hangatnya mata kami yang mulai berkaca-kaca.
“Ah, Ya Allah apakah memang aku hanya bisa berharap semata? Andai orang tuaku bisa menguliahkanku.”
Hingga kami sering berandai-andai yang terlalu jauh, namun kami sadar itu justru membuat kami semakin bersedih.
“Nak, apa kau benar-benar ingin kuliah? Ayah Ibumu tak mampu
membiayaimu, kami masih punya tanggungan adik-adikmu yang masih sekolah
juga. Maafkan kami yang tak mampu mewujudkan keinginanmu”.
Mendengar kalimat itu keluar dari orang tua kami, rasanya lubuk hati
kami benar-benar merasa bersalah juga karena mengutarakan cita-cita
kami. Sering kali kami tak bisa berkata lagi saat itu, hanya air mata
yang mengalir tanpa tertahan di pipi kami. Mungkin pelukan orang tua
kami yang akhirnya menenangkan hati kami.
Ternyata dimana ada niat disitulah ada jalan. Kami mulai mendengar
informasi-informasi tentang adanya beasiswa. Oh saat itu betapa riangnya
hati kami mendengarnya. Seolah ada kesempatan bagi kami tuk kuliah.
Kami pun mulai ikut mendaftar, walau syaratnya memang begitu banyak dan
berat juga. Namun kami tetap berusaha, mungkin inilah jalan yang
disediakan bagi kami untuk bisa seperti teman-teman kami.
Seleksi pun kami ikuti, ternyata tak mudah mengejar beasiswa itu.
Sungguh terlalu sangat banyak pemuda-pemudi seperti kami yang
memperjuangkannya. Namun kuotanya yang tak banyak, membuat hanya
sebagian kecil dari kami yang lolos. Kami pun terus berjuang,
berkali-kali gagal seleksi terasa semakin menciutkan nyali kami untuk
tetap bertahan.
“Apakah memang mustahil bagiku untuk bisa kuliah Ya Allah? Apakah perjuangan ini tak akan membuahkan hasil.”
Pertanyaan itu sering kali terbersit dalam lamunan kami. Hingga
akhirnya senyum kami pun bisa merekah pelan, disambut dengan air mata
kebahagiaan karena sebuah pengumuman yang menyatakan kami telah lolos.
Betapa bahagianya kami pada saat itu. Kami akhirnya menjadi seorang
mahasiswa berbeasiswa. Mungkin dengan itu kami tak akan memberatkan
orang tua kami.
Kuliahpun berlangsung, kadang kami pun seolah tak percaya bahwa kami
telah kuliah. Bagaimana bisa kami seseorang yang dari keluarga yang
rata-rata anak petani keciil, buruh, pedagang lapak dan sejenisnya bisa
kuliah. Mungkin cita-cita dan keteguhan doa usaha membuat kami diberi
kesempatan oleh Tuhan untuk bisa kuliah. Serta doa orang tua kami yang
penuh keajaiban telah membuat cita-cita kami dikabulkan Tuhan.
Ternyata beasiswa yang diberikan pun tak mampu menutup semua biaya
perkuliah kami. Terpaksa kami memenuhinya dengan berbagai kerjaan, entah
sambil berusaha jualan makanan di kampus, berjualan pulsa, ikut
mengajar di sebuah bimbel atau pada malam hari kami meluangkan waktu
untuk berkerja di sebuah rumah makan sekitar kampus.
Tak mungkin kami harus membebani orang tua kami di rumah, walau
sesekali orang tua kami sering menawarkan bantuannya walau sedikit.
Mereka merasa ingin membantu kami dibalik kebutuhan mereka yang belum
tentu juga sudah terpenuhi.
Satu dua kali pun kami terpaksa menerima pemberian mereka karena kami
sudah tak punya bekal di kampus. Saat-saat seperti itu pun melahirkan
janji di hati kami sendiri. Sering kali air mata ikut menetes saat
mengucapkannya.
“Aku berjanji ayah ibu, aku akan membahagiakan kalian suatu saat
nanti. Aku berjanji!!! Maafkan anakmu ini yang masih merepotkan.”
Semangat kami untuk kuliah mungkin lebih dibandingkan teman-teman
kami yang lain. Walau banyak juga teman kami non beasiswa yang
prestasinya lebih dari kami. Kami mulai berani bercita-cita lebih
tinggi, walau cita-cita kami tak langsung berharap menjadi sosok yang
akan merubah negeri ini dengan seketika dari segala kekacauan yang ada.
Namun dengan bisa kuliah, muncul harapan di hati kami.
Mungkin kami bisa mengubah kondisi perekonomian orang tua kami,
itulah yang pertama terpikirkan di hati kami. Selanjutnya, semenjak
kuliah kami pun jadi berani ikut memikirkan negeri ini. Mungkin ada hal
yang bisa kami lakukan agar bisa bermanfaat untuk negeri Indonesia
tercinta ini.
Kami selalu berusaha memenuhi kewajiban-kewajiban kami sebagai
penerima beasiswa. Sungguh terlalu banyak kegiatan yang diwajibkan bagi
kami. Dari seminar, worksop, pelatihan atau berbagai upacara hari-hari
besar, sering kali kami lah yang jadi pengisi kursi yang paling depan.
Kadang kami pun merasa lelah, belum lagi tugas-tugas kuliah yang
harus kami kerjakan dengan baik demi menjaga indeks prestasi yang
menjadi kewajiban kami pula. Namun dari itu semua, justru kami menjadi
terbiasa membagi waktu dengan baik. Kami pun menjadi mahasiswa yang
banyak mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari berbagai kegiatan
itu.
Kami kadang heran dengan teman-teman kami yang lain, ada diantara mereka yang berkata pada kami seolah menghardik kami.
“Kamu enak, kuliah tanpa mengeluarkan biaya. Enak sekali, kamu kuliah dibiayai tanpa mengeluarkan uang sepeserpun!!!”.
Oh rasanya kalimat itu benar-benar menyayat hati kami. Kami pun
seolah tak punya jawaban untuk hal itu. Seolah kalimat itu membungkam
diri kami tuk bicara. Kami mengerti bahwa kami memang dibiayai, disaat
itu juga kami merasa memang bukan dari keluarga yang berada.
Andai disuruh memilih pun tentu kami akan memilih menjadi keluarga
yang bisa membiayai kuliah kami sendiri. Entahlah, andai mereka yang
seperti itu mengerti bahwa kami telah melewati banyak kesabaran dalam
memperjuangkan tuk bisa kuliah.
Itulah sedikit cerita tentang kami, mahasiswa yang bisa mengenyam
perkuliahan karena mendapat beasiswa. Dari cerita singkat itu kami pun
mengerti bahwa dibalik segala keterbatasan yang ada, tenyata Allah
memberikan jalan kepada hambanya.
Ya, setiap orang punya harapan. Setiap orang punya kesempatan, dan
yang jelas setiap orang berhak bermimpi. Maka bagimu yang sedang
berjuang, beranilah bermimipi. Karena dengan bermimpi, kau menjadi hidup
dalam hidupmu.
OLEH :
Agus Joko Prasetyo
Seorang
pemuda yang ingin berbagi lewat tulisan. Menjadikannya tempat untuk
mencari teman, kemanfaatan dan kebahagiaan dalam hidup.