Juara 1 Cerita Inspiratif dalam Rangka HUT IKMADIKSI ke-6
Si
Pejuang Tangguh Menggapai Masa Depan Cerah
Penulis : Yesita Listary
Jurusan
: Akuntansi
Prodi
: Akuntansi Keuangan (D3)
Malam yang sunyi ditemani suara
jangkrik yang mengerik dengan bahagia. Memandangi ribuan bintang di atas sana
yang seakan melambai dan memberikan senyuman dengan kedipan semangat. Sejenak
ia terdiam mengikuti bayang-bayang yang membawanya ke alam bawah sadar,
mengingatkan kembali memori hidup yang penuh dengan perjuangan, harapan,
cita-cita, dan impian besar yang selalu ia katakan kepada bintang di langit
borneo.
Muhammad Ali, yang akrab dipanggil
Ali. Lahir pada tanggal 10 November 1964. Ali adalah anak kedua dari lima
bersaudara. Ali terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan dapat dibilang
serba kekurangan. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan yang serabutan.
Mungkin dalam sebulan hanya tiga hingga lima kali mendapat panggilan
mengerjakan bangunan rumah orang. Bahkan terkadang tidak sama sekali. Oleh
karena itu, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup susah hingga pernah tidak makan
seharian. Ketika ayahnya tidak ada pemasukan, untuk menghibur ia beserta
adiknya, ibunya selalu mengatakan "Besok jadwal kita puasa sunnah
ya", sambil tersenyum menutupi kesedihannya.
Walau begitu, Ali sangat sayang
kepada orangtuanya. Ayah Ali merupakan orang yang disiplin waktu, tidak suka mengeluh, dan beliau selalu
berpesan agar anak-anaknya sholat tepat
waktu. Sebab, walau sesusah apapun kita hidup di dunia, hadirkan Allah di
setiap langkah, dengan izin-Nya kita akan merasa senang dan tenang menjalani
hidup, begitu pesan beliau. Begitupun ibundanya Ali, orang yang selalu tegar,
bersemangat, tegas, dan sangat menyayangi anak-anaknya.
Dunia tidak terbatas tapi tidak
abadi juga. Saat berusia sembilan tahun, kakaknya Ali mengalami gangguan
kejiwaan secara tiba-tiba. Ia menjadi anak autis kala itu, orang tua pastinya shoke
terutama ibu. Setiap hari beliau menangis melihat kondisi anaknya semakin hari
semakin parah kejiwaannya. Saat itu, mereka tidak mengenal yang namanya psikolog,
dokter jiwa atau apapun sejenisnya. Mereka tinggal di kanpung pelosok Tanah
Ketapang yang jauh dari pusat kota dan juga tidak memiliki uang yang cukup
untuk berobat. Oleh karena itu, kakaknya hanya dirawat mandiri di rumah walau
tidak efektif.
Tidak sampai di situ, saat umur
sepuluh tahun, kakaknya Ali ditemukan bunuh diri di kamarnya. Pastinya sang ibu
sudah histeris hingga tak sadarkan diri saat tahu anaknya dalam keadaan
demikian. Setelah peristiwa tersebut sang ibu melamun dan sering bertengkar
dengan ayah. Hingga saat ini pun Ali seringkali terbayang pertengkaran ayah dan
ibunya, membuat ia sangat tertekan.
Selama berbulan-bulan ibu stres,
tidak mau makan, bahkan tidak mau memejamkan mata untuk tidur. Mentari tenggelam disambut
gelapnya malam. Pada akhirnya ibunya meninggal dunia karena stres yang
berkepanjangan tersebut. Sungguh, dapat kalian bayangkan betapa
sedihnya bocah sekecil Ali saat itu, inilah awal dari penderitaan yang ia alami.
Semenjak itu, masa kecil Ali tidak seperti anak-anak pada umumnya. Tidak
menghabiskan waktu untuk bermain dan bersenang-senang dengan teman, dari
sinilah perjuangan hidup pun dimulai. Masa kecilnya dipenuhi rintangan dan
perjuangan. Saat itu ayahmya juga stress dan anak-anaknya tidak diperdulikan.
Kemana pun pergi tidak ada yang tahu.
Setelah beberapa tahun, ayahnya
menikah lagi, otomatis ia harus memilki ibu tiri semasa kecilnya. Namanya juga
ibu tiri, kasih sayangnya tidak akan sama dengan ibu kandung. Ditambah ibu
tirinya memiliki dua orang anak yang sekaligus menjadi saudara tiri Ali. Sudah
pasti hidup Ali penuh kecaman dan kesedihan karena ibu tirinya selalu
memenangkan anak kandungnya, bahkan ayanya juga demikan. Kepada siapa ia harus
berkeluh kesah. Ia hanya seorang bocah yang lemah kala tu. Tidak bisa
memberontak apapun.
Merasa tidak tahan berlama-lama
berada dalam rumah keji itu, saat berusia 13 tahunn Ali beserta dua adik
laki-lakinya memutuskan untuk pergi dari rumah dan bekerja sendiri untuk
memenuhi hidup sendiri. Terkecuali adik yang bungsu, sebab saat itu ia masih
sangat kecil dan juga ia perempuan, tidak dibawa ke perantauan para kakaknya. Ali
dan adiknya merantau tak tentu tujuan, tidak merantau ke kota yang sama pula.
Walau masih kelihatan bocah, tapi semangat mereka tidak retak oleh keadaan.
Asam dan manis hidup sudah Ali
rasakan. Siapapun yang berela hati mengizinkan Ali tinggal di rumahnya, di
situlah Ali tinggal. Maka tak heran ia memilki banyak keluarga angkat.
Menumpang di rumah orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, tidak bisa
rebahan sepuasnya seperti kita anak milenial ini. Pagi-pagi sudah harus
membantu tuan rumah, ikut membantunya bekerja, dan juga harus membagi uang
hasil jerih payah kepada si pemilik rumah. Walau orang itu baik sekali pun,
tetapi kita sebagai orang yang hanya menumpang pasti tau etika yang seharusnya.
Ketika si pemilik rumah merasa keberatan untuk menanggung Ali karena kehadiran
buah hatinya bertambah, maka mau tidak mau Ali harus pamit dan mencari orang
tua angkat yang baru. Sungguh menyedihkan memang. Begitulah memang kisahnya. Pernah
ia pergi ke pasar untuk mengumpulkan beras yang jatuh ke tanah, hasil tumpahan
dari karung beras yang diangkut para kuli pasar. Nantinya ia cuci agar terpisah
antara beras dengan tanah hingga dapat dimasak dan dimakan.
Walau
begitu, Ali tetap berusaha untuk tetap bersekolah walau umurnya paling tua di
kelas lantaran sering berhenti karena pindah tanah rantauan. Semangatnya untuk
bersekolah sangat tinggi. Ia memiliki impian menjadi pekerja kantoran yang enjoy
dalam ruangan dan berpenghasilan tetap. Walau harus membanting tulang dan
membekukan air mata, ia memiliki satu impian, ingin membuktikan kepada ayah dan
almarhum ibunya bahwa ia mampu membuat mereka bangga dan menjadi yang paling
unggul di antara keluarganya.
Ia menyelesaikan pendidikan dari SD,
ST, hingga STM dengan biaya sendiri. Pergi ke mana pun untuk meminta
pertolongan orang untuk bisa menumpangi dirinya yang sambil sekolah. Saat itu,
surat menyurat pindah sekolah tidak serumit sekarang. Oleh sebab itu, di kota
mana pun ia mendapatkankan orang tua angkat, maka disitulah ia bersekolah. Ia
bekerja apa saja asal layak dikerjakan untuk membiayai kehidupan dan
sekolahnya. Menjadi penjaga golf, tukang bangunan, kuli pabrik sudah dirasakan.
Berbeda dengan adiknya, yang memilih bekerja untuk mencari makan saja tanpa
memikirkan pendidikan. Saat itu pun alat komunikasi tidak seperti sekarang,
jadi Ali pun tidak tahu keberadaan para adiknya di mana.
Ia juga berprestasi di bidang
olahraga yaitu sepak bola dan pernah memenangkan beberapa lomba. Ia pernah
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di ITP (Institut Teknologi
Pontianak), tapi sayangnya hanya bertahan dua semester saja. Berhenti karena
faktor biaya. Umur 26 tahun ia menikah. Awal menikah, Ali belum memiliki
pekerjaan tetap. Ke sana kemari mencari pekerjaan. Pertama ia bekerja sebagai
konsultan di PT. I.B.C, setelah perusahaan itu bangkrut ia bekerja sebagai
tukang bangunan dan supir. Ketika anak pertamanya lahir, ia mendapat pekerjaan
yang layak. Pada saat itu ia diterima sebagai satpam di Kantor Pengadilan
Negeri Pontianak. Sambil menambah penghasilan ia juga menjadi tukang parkir
pada satu di antara kantor saat off dari jadwal jaga. Berhenti
dari satpam, Ali menjadi honnorer di Kantor LAPAN Pontianak, yaitu sebagai
tukang tebas rumput.
Tiga
tahun bekerja di sana ia diberi kesempatan untuk tes PNS di Bandung. Jikalau
Tuhan berkehendak, rezeki tidak akan lari ke mana. Ali pun lolos tes PNS kala
itu. Ia pun ditempatkan di Kantor LAPAN Pontianak. Pastinya ia beserta keluarga
sangat senang. Walaupun bukan pegawai golongan tinggi, namun impiannya
tercapai. Hingga saat ini ia masih bekerja di sana, berkat izin tuhan seiring
berjalannya waktu perlahan ia naik pangkat. Sudah sukses Ali tetap ingat dan
masih menjaga silaturahmi mengunjungi para orang tua angkatnya yang sangat
berjasa dalam hidupnya.
Hidup adalah perjuangan yang harus dimenangkan,
selalu ada tantangan yang harus dihadapi. Saat kesusahan menerpa, saat itulah Tuhan mewariskan
semangat, pantang menyerah, kerja keras, dan berani menjadi yang berbeda. Kunci
utama yaitu kalahkan rasa takut. Bukan kekurangan finansial yang menjerumuskan
pada kegagalan, justru alasan-alasan yang harus di hindarkan. Jangan Pernah takut membentuk cita-cita. Kita Bisa! Kita sangat
Powerfull! Tidak ada yang tidak mungkin jika kita memiliki tekad dan
keberanian. Buatlah mimpi yang besar dan bergeraklah dari sekarang!!!
Itulah
perjalanan hidup ayah saya sendiri. Semoga dapat dijadikan motivasi bagi kalian
semua yang mungkin masih suka mengeluh dan merasa menyesal dilahirkan ke dunia.
Beliau berasal dari keluarga yang tidak mampu namun dengan semangatnya ia mampu
mewujudkan impian orang tuanya. Walaupun saat ia sukses orang tuanya sudah
tidak ada namun setidaknya dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Beliau
ingin perjalanan hidupnya menjadi motivasi bagi orang lain. Jadi, hidup itu
tidak langsung bahagia tanpa perjuangan dan doa. Walaupun seseorang sudah
terlahir hidup di keluarga yang sukses, pasti ada perjuangan di dalamnya yang
kita tidak tahu. Pada intinya, capai cita-citamu setinggi mungkin sampai engkau
tidak bisa mencapainya. Kaya raya namun tak berilmu hanya pembodohan. Teruslah
meraih pendidikanmu selagi masih ada waktu dan kesempatan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar