Jumat, 29 Mei 2020

Si Pejuang Tangguh Menggapai Masa Depan Cerah - Juara 1 HUT IKMADIKSI

Juara 1 Cerita Inspiratif dalam Rangka HUT IKMADIKSI ke-6


Si Pejuang Tangguh Menggapai Masa Depan Cerah
                                           Penulis     : Yesita Listary
                                          Jurusan     : Akuntansi
                                          Prodi        : Akuntansi Keuangan (D3)

Malam yang sunyi ditemani suara jangkrik yang mengerik dengan bahagia. Memandangi ribuan bintang di atas sana yang seakan melambai dan memberikan senyuman dengan kedipan semangat. Sejenak ia terdiam mengikuti bayang-bayang yang membawanya ke alam bawah sadar, mengingatkan kembali memori hidup yang penuh dengan perjuangan, harapan, cita-cita, dan impian besar yang selalu ia katakan kepada bintang di langit borneo.
Muhammad Ali, yang akrab dipanggil Ali. Lahir pada tanggal 10 November 1964. Ali adalah anak kedua dari lima bersaudara. Ali terlahir dari keluarga yang sederhana bahkan dapat dibilang serba kekurangan. Ayahnya bekerja sebagai tukang bangunan yang serabutan. Mungkin dalam sebulan hanya tiga hingga lima kali mendapat panggilan mengerjakan bangunan rumah orang. Bahkan terkadang tidak sama sekali. Oleh karena itu, sejak kecil ia sudah terbiasa hidup susah hingga pernah tidak makan seharian. Ketika ayahnya tidak ada pemasukan, untuk menghibur ia beserta adiknya, ibunya selalu mengatakan "Besok jadwal kita puasa sunnah ya", sambil tersenyum menutupi kesedihannya.
Walau begitu, Ali sangat sayang kepada orangtuanya. Ayah Ali merupakan orang yang disiplin waktu,  tidak suka mengeluh, dan beliau selalu berpesan  agar anak-anaknya sholat tepat waktu. Sebab, walau sesusah apapun kita hidup di dunia, hadirkan Allah di setiap langkah, dengan izin-Nya kita akan merasa senang dan tenang menjalani hidup, begitu pesan beliau. Begitupun ibundanya Ali, orang yang selalu tegar, bersemangat, tegas, dan sangat menyayangi anak-anaknya.
Dunia tidak terbatas tapi tidak abadi juga. Saat berusia sembilan tahun, kakaknya Ali mengalami gangguan kejiwaan secara tiba-tiba. Ia menjadi anak autis kala itu, orang tua pastinya shoke terutama ibu. Setiap hari beliau menangis melihat kondisi anaknya semakin hari semakin parah kejiwaannya. Saat itu, mereka tidak mengenal yang namanya psikolog, dokter jiwa atau apapun sejenisnya. Mereka tinggal di kanpung pelosok Tanah Ketapang yang jauh dari pusat kota dan juga tidak memiliki uang yang cukup untuk berobat. Oleh karena itu, kakaknya hanya dirawat mandiri di rumah walau tidak efektif.
Tidak sampai di situ, saat umur sepuluh tahun, kakaknya Ali ditemukan bunuh diri di kamarnya. Pastinya sang ibu sudah histeris hingga tak sadarkan diri saat tahu anaknya dalam keadaan demikian. Setelah peristiwa tersebut sang ibu melamun dan sering bertengkar dengan ayah. Hingga saat ini pun Ali seringkali terbayang pertengkaran ayah dan ibunya, membuat ia sangat tertekan.
Selama berbulan-bulan ibu stres, tidak mau makan, bahkan tidak mau memejamkan mata untuk tidur. Mentari tenggelam disambut gelapnya malam. Pada akhirnya ibunya meninggal dunia karena stres yang berkepanjangan tersebut. Sungguh, dapat kalian bayangkan betapa sedihnya bocah sekecil Ali saat itu, inilah awal dari penderitaan yang ia alami. Semenjak itu, masa kecil Ali tidak seperti anak-anak pada umumnya. Tidak menghabiskan waktu untuk bermain dan bersenang-senang dengan teman, dari sinilah perjuangan hidup pun dimulai. Masa kecilnya dipenuhi rintangan dan perjuangan. Saat itu ayahmya juga stress dan anak-anaknya tidak diperdulikan. Kemana pun pergi tidak ada yang tahu.
Setelah beberapa tahun, ayahnya menikah lagi, otomatis ia harus memilki ibu tiri semasa kecilnya. Namanya juga ibu tiri, kasih sayangnya tidak akan sama dengan ibu kandung. Ditambah ibu tirinya memiliki dua orang anak yang sekaligus menjadi saudara tiri Ali. Sudah pasti hidup Ali penuh kecaman dan kesedihan karena ibu tirinya selalu memenangkan anak kandungnya, bahkan ayanya juga demikan. Kepada siapa ia harus berkeluh kesah. Ia hanya seorang bocah yang lemah kala tu. Tidak bisa memberontak apapun.
Merasa tidak tahan berlama-lama berada dalam rumah keji itu, saat berusia 13 tahunn Ali beserta dua adik laki-lakinya memutuskan untuk pergi dari rumah dan bekerja sendiri untuk memenuhi hidup sendiri. Terkecuali adik yang bungsu, sebab saat itu ia masih sangat kecil dan juga ia perempuan, tidak dibawa ke perantauan para kakaknya. Ali dan adiknya merantau tak tentu tujuan, tidak merantau ke kota yang sama pula. Walau masih kelihatan bocah, tapi semangat mereka tidak retak oleh keadaan.
            Asam dan manis hidup sudah Ali rasakan. Siapapun yang berela hati mengizinkan Ali tinggal di rumahnya, di situlah Ali tinggal. Maka tak heran ia memilki banyak keluarga angkat. Menumpang di rumah orang tidak senyaman tinggal di rumah sendiri, tidak bisa rebahan sepuasnya seperti kita anak milenial ini. Pagi-pagi sudah harus membantu tuan rumah, ikut membantunya bekerja, dan juga harus membagi uang hasil jerih payah kepada si pemilik rumah. Walau orang itu baik sekali pun, tetapi kita sebagai orang yang hanya menumpang pasti tau etika yang seharusnya. Ketika si pemilik rumah merasa keberatan untuk menanggung Ali karena kehadiran buah hatinya bertambah, maka mau tidak mau Ali harus pamit dan mencari orang tua angkat yang baru. Sungguh menyedihkan memang. Begitulah memang kisahnya. Pernah ia pergi ke pasar untuk mengumpulkan beras yang jatuh ke tanah, hasil tumpahan dari karung beras yang diangkut para kuli pasar. Nantinya ia cuci agar terpisah antara beras dengan tanah hingga dapat dimasak dan dimakan.
Walau begitu, Ali tetap berusaha untuk tetap bersekolah walau umurnya paling tua di kelas lantaran sering berhenti karena pindah tanah rantauan. Semangatnya untuk bersekolah sangat tinggi. Ia memiliki impian menjadi pekerja kantoran yang enjoy dalam ruangan dan berpenghasilan tetap. Walau harus membanting tulang dan membekukan air mata, ia memiliki satu impian, ingin membuktikan kepada ayah dan almarhum ibunya bahwa ia mampu membuat mereka bangga dan menjadi yang paling unggul di antara keluarganya.
            Ia menyelesaikan pendidikan dari SD, ST, hingga STM dengan biaya sendiri. Pergi ke mana pun untuk meminta pertolongan orang untuk bisa menumpangi dirinya yang sambil sekolah. Saat itu, surat menyurat pindah sekolah tidak serumit sekarang. Oleh sebab itu, di kota mana pun ia mendapatkankan orang tua angkat, maka disitulah ia bersekolah. Ia bekerja apa saja asal layak dikerjakan untuk membiayai kehidupan dan sekolahnya. Menjadi penjaga golf, tukang bangunan, kuli pabrik sudah dirasakan. Berbeda dengan adiknya, yang memilih bekerja untuk mencari makan saja tanpa memikirkan pendidikan. Saat itu pun alat komunikasi tidak seperti sekarang, jadi Ali pun tidak tahu keberadaan para adiknya di mana. 
            Ia juga berprestasi di bidang olahraga yaitu sepak bola dan pernah memenangkan beberapa lomba. Ia pernah melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di ITP (Institut Teknologi Pontianak), tapi sayangnya hanya bertahan dua semester saja. Berhenti karena faktor biaya. Umur 26 tahun ia menikah. Awal menikah, Ali belum memiliki pekerjaan tetap. Ke sana kemari mencari pekerjaan. Pertama ia bekerja sebagai konsultan di PT. I.B.C, setelah perusahaan itu bangkrut ia bekerja sebagai tukang bangunan dan supir. Ketika anak pertamanya lahir, ia mendapat pekerjaan yang layak. Pada saat itu ia diterima sebagai satpam di Kantor Pengadilan Negeri Pontianak. Sambil menambah penghasilan ia juga menjadi tukang parkir pada satu di antara kantor saat off dari jadwal jaga. Berhenti dari satpam, Ali menjadi honnorer di Kantor LAPAN Pontianak, yaitu sebagai tukang tebas rumput.
Tiga tahun bekerja di sana ia diberi kesempatan untuk tes PNS di Bandung. Jikalau Tuhan berkehendak, rezeki tidak akan lari ke mana. Ali pun lolos tes PNS kala itu. Ia pun ditempatkan di Kantor LAPAN Pontianak. Pastinya ia beserta keluarga sangat senang. Walaupun bukan pegawai golongan tinggi, namun impiannya tercapai. Hingga saat ini  ia masih bekerja di sana, berkat izin tuhan seiring berjalannya waktu perlahan ia naik pangkat. Sudah sukses Ali tetap ingat dan masih menjaga silaturahmi mengunjungi para orang tua angkatnya yang sangat berjasa dalam hidupnya.
Hidup adalah perjuangan yang harus dimenangkan, selalu ada tantangan yang harus dihadapi. Saat kesusahan menerpa, saat itulah Tuhan  mewariskan semangat, pantang menyerah, kerja keras, dan berani menjadi yang berbeda. Kunci utama yaitu kalahkan rasa takut. Bukan kekurangan finansial yang menjerumuskan pada kegagalan, justru alasan-alasan yang harus di hindarkan. Jangan Pernah takut membentuk cita-cita. Kita Bisa! Kita sangat Powerfull! Tidak ada yang tidak mungkin jika kita memiliki tekad dan keberanian. Buatlah mimpi yang besar dan bergeraklah dari sekarang!!!
Itulah perjalanan hidup ayah saya sendiri. Semoga dapat dijadikan motivasi bagi kalian semua yang mungkin masih suka mengeluh dan merasa menyesal dilahirkan ke dunia. Beliau berasal dari keluarga yang tidak mampu namun dengan semangatnya ia mampu mewujudkan impian orang tuanya. Walaupun saat ia sukses orang tuanya sudah tidak ada namun setidaknya dapat mengangkat nama baik orang tuanya. Beliau ingin perjalanan hidupnya menjadi motivasi bagi orang lain. Jadi, hidup itu tidak langsung bahagia tanpa perjuangan dan doa. Walaupun seseorang sudah terlahir hidup di keluarga yang sukses, pasti ada perjuangan di dalamnya yang kita tidak tahu. Pada intinya, capai cita-citamu setinggi mungkin sampai engkau tidak bisa mencapainya. Kaya raya namun tak berilmu hanya pembodohan. Teruslah meraih pendidikanmu selagi masih ada waktu dan kesempatan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar